Senin, 30 Maret 2015

petualangan bersama kekasih


di pagi itu kupandangi wajahmu yang berkilau berseri menantang mentari, menyibak kelabunya rindu dengan senyummu, memelukku erat dengan sinarmu yang sadis menjatuhkanku ke dalam cinta tanpa kurasa lara. gunung pun kudaki tuk menyambangimu, di pelupuk pagi ini kuingat selalu ronamu, memancar di puncak rasaku, menyisir longsongan pohon yang menerpa silih berganti, menerjang setiap daun yang menghalangi hanya untuk melihat senyummu sekali lagi..



MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
soe hok gie


eksotisme panorama alam yang tak dapat ditolak oleh siapapun, tanah jawa bagian barat yang tak jarang orang menjamahnya tanpa ampun mengeksplore keindahan ciptaanNya. semacam oasis di padang tandus mengusik rohani di tengah kawah. seketika ku ingat namaMu kekasih menggetarkan seluruh bulu di badanku, seindah ini ciptaanmu tak ku kira keindahan dirimu cinta. 




Mungkin kamu harus tahu bahwa cintaku selalu jatuh seperti hujan, berulang kali tanpa henti kepada kata kedua dalam kalimat ini.




Dengan penuh keyakinan kutatap alam
Sejuta cinta yang akan kuserahkan
Telah dihidangkan di atas meja Sang Pencipta alam
Jangan lekas pergi atau menghilang
Nikmatilah dahulu anugerah kasih sayang
Alamku rusak, badaikan segera menerjang
Alamku hancur, kehidupan segera berakhir
Alamku musnah, tibalah hari kiamat
Alamku, alamku tetaplah kau bertahan di sana
Aku datang mendekat dalam kehidupanmu
Aku hadir merayu keagungan jiwa pengasihmu
Berusaha menahan hadirmu dalam duniaku
Alamku, alamku jangan pergi dari kehidupanku





 SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
soe hok gie



perjalanan ini menuntunku menujumu, petualangan ini selalu mengajariku untuk mengingatmu setiap waktu, mempelajarimu adalah suatu kehormatan untukku, terimakasih dan segala puji untukmu.